Skip to main content

Posts

enam belas oktober dua ribu sebelas

Recent posts

Tejo dan Slamet

burung pertama yang saya beli berawal dari iseng belaka..kemudian keterusan menjadi hoby. Slamet namanya burung kecil berwarna hijau ini seharga sepuluh ribu rupiah. saya beli di pasar burung pasty tepatnya di Slamet saya beli pada tanggal 09 Mei 2011. sejak saat itu saya ingin sekali menambah koleksi burung saya. akhirnya pada tanggal 14 mei 2011 saya beli seekor burung trucuk yang kemudian saya beri nama Tejo. saya sangat beruntung memiliki Slamet dan Tejo. merekalah yang menemani saya sepanjang hari mulai saya terbangun dengan ocehannya Tejo lalu sore saya yang saya lewatkan dengan memandikan Slamet...semua terasa menyenangkan. dan membuat hidup saya lebih berarti....tunggu episode teman Tejo dan Slamet berikutnya.

holiday after endoskopi

candi prambanan yogyakarta, tiba pada hari minggu 17 april 2011. setelah menjalani proses perobatan yang melelahkan. Ayah saya (Djasmadi) yang mencoba melawan rasa sakit demi kehidupan yang semakin melaju kencang. getirnya terasa sangat legit manisnya terasa mendayu. setelah kelahiran cucu pertamanya Senja Pramuwidyaning Sutadi, saya melihat kebahagiaan dan harapan itu terpancar jelas di antara pelipis mata Ayah saya. harapan untuk tetap hidup dan merasakan kebahagiaan didalam keluarga kami, keluarga yang bersahaja. saya tak ingin lagi melihat Ayah saya merintih kesakitan untuk kesekian kalinya.agar kita tetap merasakan hangatnya kebahagiaan ini bersama-sama. dan karena saya adalah putra yang paling tak bermutu maka saya ingin membuat saya terbanggakan di hadapanmu..good luck my greatest father..i love you so much.

Sabun mandi batangan

“Seperti bunga yang layu terbuang..namun kau pasti tahu,,,semua karena aku masih lagi setia pada mu…biar ku menangis,,seumpama pengemis”…”goyang sitik josss!!!”. Dentuman lagu bernuansa dangdut koplo itu terdengar kencang dari speaker aktif milik parjo di dalam ruangan berukuran tiga kali tiga yang pengap, kotor dan tertutup rapat tanpa celah. Hanya segumpalan asap rokok yang meliuk-liuk di dalamnya. Seteguk kopi hangat temani warnai pagi seolah tak terhiraukan pelik yang terjadi di luar sana. Awan hitam menggelantung di atas kota jogja. Hujan debu berwarna abu-abu itu terus menghujam paru-paru para penghuni kota yang semakin hari semakin individualis, rakus dan kehilangan esensi kemanusiaannya. Rutinitas itu kini terhenti begitu saja pada sebuah fase kegetiran. Tak ada lagi tegukan beer di siang bolong, tak ada lagi tawuran pelajar selepas pukul satu siang, tak ada lagi private party di tengah lautan pesta para durjana. Parjo masih asik dengan lagu dangdut koplo nya.sambil sesekali me

Senja pramuwidyaning sutadi

lahir 21 maret 2011..Senja pramuwidyaning sutadi adalah anugerah terbesar dalam sejarah hidup keluarga kami. dimana Senja kecil ini telah menjadikan ayah dan ibu saya sebagai kakek dan nenek, sekaligus menjadikan kakak saya sebagai ayah... Senjapun menambah sempurna perjalanan hidup keluarga kami..keturunan Djasmadi (seorang petani yang tak kenal menyerah) dan Ngatijah (seorang ibu dengan keringat darah yang tulus menyertai perjuangan anak-anaknya).aku selalu bangga menjadi bagian dari kehidupan mereka...aku adalah seorang anak yang beruntung memiliki orang-orang penuh kasih sayang seperti mereka..kami takkan pernah lelah menapaki kehidupan ini sampai waktu menghantarkan kami diatas puncak kebahagiaan yang sempurna.

Tak ada kemaluan abadi

“waktu akan mengikismu, membungkukkan badanmu, memutihkan rambutmu, mengeringkan spermamu”. Petuah Mbah Durjo pada cucunya Sambu dipenghujung senja. Mbah Darjo muda terkenal lihai merangkai kata. Konon Mbah Putri dulu terpikat hatinya setelah menerima sepucuk surat cinta yang ditulis Mbah Darjo dengan darahnya sendiri. Reputasi Mbah Durjo itu membuat Sambu bangga memiliki kakek seperti Mbah Durjo. Iapun tak sungkan bertukar cerita cinta lelaki berambut putih itu. Dan kini Sambu sedang jatuh cinta kepada Bunga teman sekelasnya. Malam ini Sambu akan bertemu Bunga untuk mengerjakan tugas kelompok di rumahnya. Awan sore itu berjalan terlalu cepat. Cahaya kekuningan itu kini mulai memudar, terbenam di balik pepohonan nan menjulang tinggi. Awan hitam kini mulai menguasai keheningan petang. Suara jangkrik sesekali terdengar dari sela-sela rerumput berukuran cepak. Dari kejauhan terdengar gesekan langkah kaki yang anggun. Pelan perlahan mulai nampak jelas mendekati rumah Sambu. Itu adalah suar

Sudarman mogok makan

Agung Dwiyono Seketika dalam uraian malam yang hitam. Barangkali lamunan sudarman belum sanggup mengungkapkan apa yang ia rasakan. Sedih, jengkel, bingung akan menjadi seperti apa setelah kejadian siang tadi. Bahkan secangkir kopi pahit itu pun tak mampu menolong kesedihanya. Masih ia nikmati sebatang rokok yang secara diam-diam ia hisap tanpa sepengetahuan ayahnya. Bumbungan asap mengepul didalam persegi empat kamarnya tanpa ada celah bagi asap-asap itu untuk melarikan diri. Ketika ia sadari ia sudah berwujud sudarman, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun yang sedang kebingungan meraba-raba sikap. Guru agamanya disekolah siang tadi berkata ; “janganlah kalian makan dari makanan yang haram atau makanan yang diperoleh dengan cara yang haram”. Salah seorang temannya lantas berceloteh ; “berarti makanan yang diperoleh dari hasil korupsi itu makanan haram donk pak !!!”. entah mengapa, seketika saja semua mata di kelas itu tertuju kepada sudarman dengan sedikit senyum bernada e