Agung Dwiyono
Seketika dalam uraian malam yang hitam. Barangkali lamunan sudarman belum sanggup mengungkapkan apa yang ia rasakan. Sedih, jengkel, bingung akan menjadi seperti apa setelah kejadian siang tadi. Bahkan secangkir kopi pahit itu pun tak mampu menolong kesedihanya. Masih ia nikmati sebatang rokok yang secara diam-diam ia hisap tanpa sepengetahuan ayahnya. Bumbungan asap mengepul didalam persegi empat kamarnya tanpa ada celah bagi asap-asap itu untuk melarikan diri. Ketika ia sadari ia sudah berwujud sudarman, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun yang sedang kebingungan meraba-raba sikap.
Guru agamanya disekolah siang tadi berkata ;
“janganlah kalian makan dari makanan yang haram atau makanan yang diperoleh dengan cara yang haram”.
Salah seorang temannya lantas berceloteh ;
“berarti makanan yang diperoleh dari hasil korupsi itu makanan haram donk pak !!!”. entah mengapa, seketika saja semua mata di kelas itu tertuju kepada sudarman dengan sedikit senyum bernada ejekan. Sudarman tertunduk layu, matanya merah terbakar amarah, sedangkan hatinya membiru haru melebur seperti debu.
Sudarman termakan cemburu dengan paiman si anak petani, dengan budi anak pak guru, dengan marni anak pedagang asongan. Dalam hatinya bergumam “kenapa aku ditakdirkan menjadi seorang anak polisi?”.
Tak terasa malam mulai larut dan semakin kelam. Kemudian ia sadari lamunan itu telah menggiringnya untuk sebuah keputusan yang berani. Sudirman yakin tidur lelapnya malam ini akan membawanya ke dalam kehidupan yang sungguh ia impikan.
000000000---------0000000000
Matahari pagi masuk melalui celah jendela dari lubang gorden yang bolong. Air sedingin es dan handuk kucel yang tersampir di kursi belajar itu menunggu. Setelah segar dan siap dengan seragam putih abu-abunya, sudarman membuang SIM dan STNK motornya dari dompet kesayanganya. Lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan ayah, ibu dan adiknya yang sedang menunggu di meja makan untuk sarapan bersama. Ayah dan ibunya tak menaruh curiga, dalam pikiran mereka mungkin sudarman sedang terburu-buru atau belum mengerjakan tugas.
“tadi Su tidak pakai helmnya ya bu’?”. Tanya ayah kepada ibu sudarman di meja makan.
“sepertinya iya pak”. Jawab ibunya singkat sambil menata lauk pauk menu sarapan pagi itu.
“nanti kalau Su di tilang bagaimana?”. Tanya sang ayah lagi.
“bapak ini kox ya aneh, seorang pimpinan polisi lalu lintas kox ndak bisa bebasin anaknya yang kena tilang”. Celoteh ibunya bernada sepele.
“..hahahahaaha..”. seketika tawa mereka bertiga pecah begitu saja di tengah meja makan pagi itu.
0000000000000000-----------------00000000000000000
Siang hari yang terik matahari menawarkan keberingasannya. Wajah kusut seperti buntalan kertas di remas-remas itu adalah yang nampak tersirat di wajah sudarman yang sedang kelelahan. Ia bantingkan tubuhnya diatas sofa empuk di ruang tamu sambil membuang tas sekolahnya ke sisi kanan sofa itu. Tak lama kemudian ibunya muncul dari ruang dapur dan lantas bertanya ;
“kamu kenapa nak?banyak tugas ya di sekolahan?”. Tanya ibunya sambil menaruh sepatu sudirman di rak.
“Su habis kena tilang bu’ !”. jawabnya singkat.
“elloh, kox bisa?!?. Dimana kamu ditilang?”. Tanya ibunya lagi dengan nada tak terima.
“di jalan gatot koco selatan jembatan layang”.jawab Sudarman lagi.
“weleh, itu kan daerah dimana bapakmu biasa melakukan razia nak?”. Tanya ibunya sedang keheranan.
“iya Su tau.tapi Su tadi tidak memakai helm, tidak bawa SIM dan STNK”. Sudarman menjelaskanya dengan menggebu.
“nak, bapakmu kan petinggi polisi di daerah ini, sudah pasti mereka maklum”.jawab ibunya tenang.
“maklum?, semudah itukah masyarakat memaklumi kita bu?.dalam hati mereka itu geram, nggruntel, tidak terima dengan perlakuan tak adil oleh oknum-oknum seperti bapak !!.semudah itukah ibu mengatakan maklum?”. Sudarman dengan tegas menuding-nuding foto ayahnya sendiri di ruang tamu itu.
Ibu nya lalu mendekati sudirman sambil mengelus pundaknya. Sambil memberi pengertian agar sudarman meredakan amarahnya.
“ya sudah, kamu hanya sedang lelah nak. Kamu istirahat dulu sana..jangan lupa makan siang dulu”. Ibunya sedang mencoba menenangkan.
“mulai sekarang Su tidak memakan makanan dari uang hasil tilangan bapak !!. Su tidak mau makan dari uang haram !!.coba, ibu banyangkan, uang itu diperoleh dari orang-orang yang tidak ihklas hatinya, atau sepengetahuan mereka uang itu masuk ke dalam kas negara. Tapi nyatanya? Uang itu masuk ke dalam perut kita bu !!!.ada di dalam perut kita !!!!. sambil bergegas pergi Sudarman berteriak-teriak.
“tidak semua nasi di dapur kita hasil dari uang haram nak !!!.sebagian nasi itu dari gaji bapak yang tak seberapa !”. jawab ibunya sambil tersungkur di ruang tamu itu. Tak terasa air matanya menetes untuk suatu hal yang sebenarnya sudah ia sadari sejak dulu.
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundak ibunya dari belakang. Ternyata sang ayah sudah ada di belakang mereka sejak perseteruan sudarman dan ibunya dimulai. Dengan tatapan mata yang tenang itu sang ayah mencoba memberi pengertian kepada isterinya itu. Mereka berdua saling menatap. Sang ayah menganggukkan wajahnya di sela tatapan itu. Pertanda ia harus berubah menjadi seorang polisi sekaligus ayah yang bisa mengayomi anak-anaknya. Memberi mereka nafkah yang halal dengan cara yang halal pula.
000000---the end---00000
Seketika dalam uraian malam yang hitam. Barangkali lamunan sudarman belum sanggup mengungkapkan apa yang ia rasakan. Sedih, jengkel, bingung akan menjadi seperti apa setelah kejadian siang tadi. Bahkan secangkir kopi pahit itu pun tak mampu menolong kesedihanya. Masih ia nikmati sebatang rokok yang secara diam-diam ia hisap tanpa sepengetahuan ayahnya. Bumbungan asap mengepul didalam persegi empat kamarnya tanpa ada celah bagi asap-asap itu untuk melarikan diri. Ketika ia sadari ia sudah berwujud sudarman, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun yang sedang kebingungan meraba-raba sikap.
Guru agamanya disekolah siang tadi berkata ;
“janganlah kalian makan dari makanan yang haram atau makanan yang diperoleh dengan cara yang haram”.
Salah seorang temannya lantas berceloteh ;
“berarti makanan yang diperoleh dari hasil korupsi itu makanan haram donk pak !!!”. entah mengapa, seketika saja semua mata di kelas itu tertuju kepada sudarman dengan sedikit senyum bernada ejekan. Sudarman tertunduk layu, matanya merah terbakar amarah, sedangkan hatinya membiru haru melebur seperti debu.
Sudarman termakan cemburu dengan paiman si anak petani, dengan budi anak pak guru, dengan marni anak pedagang asongan. Dalam hatinya bergumam “kenapa aku ditakdirkan menjadi seorang anak polisi?”.
Tak terasa malam mulai larut dan semakin kelam. Kemudian ia sadari lamunan itu telah menggiringnya untuk sebuah keputusan yang berani. Sudirman yakin tidur lelapnya malam ini akan membawanya ke dalam kehidupan yang sungguh ia impikan.
000000000---------0000000000
Matahari pagi masuk melalui celah jendela dari lubang gorden yang bolong. Air sedingin es dan handuk kucel yang tersampir di kursi belajar itu menunggu. Setelah segar dan siap dengan seragam putih abu-abunya, sudarman membuang SIM dan STNK motornya dari dompet kesayanganya. Lalu pergi begitu saja tanpa menghiraukan ayah, ibu dan adiknya yang sedang menunggu di meja makan untuk sarapan bersama. Ayah dan ibunya tak menaruh curiga, dalam pikiran mereka mungkin sudarman sedang terburu-buru atau belum mengerjakan tugas.
“tadi Su tidak pakai helmnya ya bu’?”. Tanya ayah kepada ibu sudarman di meja makan.
“sepertinya iya pak”. Jawab ibunya singkat sambil menata lauk pauk menu sarapan pagi itu.
“nanti kalau Su di tilang bagaimana?”. Tanya sang ayah lagi.
“bapak ini kox ya aneh, seorang pimpinan polisi lalu lintas kox ndak bisa bebasin anaknya yang kena tilang”. Celoteh ibunya bernada sepele.
“..hahahahaaha..”. seketika tawa mereka bertiga pecah begitu saja di tengah meja makan pagi itu.
0000000000000000-----------------00000000000000000
Siang hari yang terik matahari menawarkan keberingasannya. Wajah kusut seperti buntalan kertas di remas-remas itu adalah yang nampak tersirat di wajah sudarman yang sedang kelelahan. Ia bantingkan tubuhnya diatas sofa empuk di ruang tamu sambil membuang tas sekolahnya ke sisi kanan sofa itu. Tak lama kemudian ibunya muncul dari ruang dapur dan lantas bertanya ;
“kamu kenapa nak?banyak tugas ya di sekolahan?”. Tanya ibunya sambil menaruh sepatu sudirman di rak.
“Su habis kena tilang bu’ !”. jawabnya singkat.
“elloh, kox bisa?!?. Dimana kamu ditilang?”. Tanya ibunya lagi dengan nada tak terima.
“di jalan gatot koco selatan jembatan layang”.jawab Sudarman lagi.
“weleh, itu kan daerah dimana bapakmu biasa melakukan razia nak?”. Tanya ibunya sedang keheranan.
“iya Su tau.tapi Su tadi tidak memakai helm, tidak bawa SIM dan STNK”. Sudarman menjelaskanya dengan menggebu.
“nak, bapakmu kan petinggi polisi di daerah ini, sudah pasti mereka maklum”.jawab ibunya tenang.
“maklum?, semudah itukah masyarakat memaklumi kita bu?.dalam hati mereka itu geram, nggruntel, tidak terima dengan perlakuan tak adil oleh oknum-oknum seperti bapak !!.semudah itukah ibu mengatakan maklum?”. Sudarman dengan tegas menuding-nuding foto ayahnya sendiri di ruang tamu itu.
Ibu nya lalu mendekati sudirman sambil mengelus pundaknya. Sambil memberi pengertian agar sudarman meredakan amarahnya.
“ya sudah, kamu hanya sedang lelah nak. Kamu istirahat dulu sana..jangan lupa makan siang dulu”. Ibunya sedang mencoba menenangkan.
“mulai sekarang Su tidak memakan makanan dari uang hasil tilangan bapak !!. Su tidak mau makan dari uang haram !!.coba, ibu banyangkan, uang itu diperoleh dari orang-orang yang tidak ihklas hatinya, atau sepengetahuan mereka uang itu masuk ke dalam kas negara. Tapi nyatanya? Uang itu masuk ke dalam perut kita bu !!!.ada di dalam perut kita !!!!. sambil bergegas pergi Sudarman berteriak-teriak.
“tidak semua nasi di dapur kita hasil dari uang haram nak !!!.sebagian nasi itu dari gaji bapak yang tak seberapa !”. jawab ibunya sambil tersungkur di ruang tamu itu. Tak terasa air matanya menetes untuk suatu hal yang sebenarnya sudah ia sadari sejak dulu.
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundak ibunya dari belakang. Ternyata sang ayah sudah ada di belakang mereka sejak perseteruan sudarman dan ibunya dimulai. Dengan tatapan mata yang tenang itu sang ayah mencoba memberi pengertian kepada isterinya itu. Mereka berdua saling menatap. Sang ayah menganggukkan wajahnya di sela tatapan itu. Pertanda ia harus berubah menjadi seorang polisi sekaligus ayah yang bisa mengayomi anak-anaknya. Memberi mereka nafkah yang halal dengan cara yang halal pula.
000000---the end---00000
Comments