Skip to main content

chapter I

Chapter I :

Aku dan ibuku sedang duduk di bawah pohon rambutan depan rumah. Karena kami tidak punya teras untuk sekedar bersantai di siang yang terik. Ibarat tak ada rotan akar pun jadi. Tiba-tiba aku jadi ingin bertanya tentang masa kecilku dulu. Tentang sejarah sedih dan beberapa kenangan membahagiakan yang pernah ku dengar pula dari segelumit obrolan ringan dengan ayahku sebelumnya.

Ibuku pun dengan lancar mulai bercerita dengan logat jawanya. Kurang lebih beginilah cerita itu :

1987 di sebuah desa yang lumayan terpencil di pulau jawa saat dimana pertama kali aku membuka mata. Kakakku masih berusia empat tahun kala itu. Di sebuah senja tanpa ada ayah di rumah. Ayah sedang merantau ke Jakarta sejak satu setengah bulan yang lalu. Sepertinya memang sudah saatnya aku di lahirkan. Di dalam rumah berdindingkan anyaman bambu itu hanya ada ibu, kakak dan bibiku. Saat ibu sudah mulai merasakan detik-detik kelahiranku, bibiku mulai panik dan menyuruh kakakku yang masih kecil untuk segera memanggil dukun bayi di desa seberang. Kakakku memang sudah cerdas sejak kecil. Tanpa pikir panjang kakakku berlarian menuju rumah dukun bayi yang letakkanya kira-kira bisa di tempuh dengan berjalanan kaki selama dua puluh menit. Sementara bibiku semakin panik ketika ibu seolah sudah tak kuasa menahan anak ke dua nya ingin segera menatap dunia.

Selang beberapa saat, dukun bayi itu pun sampai di rumah. Dan bayi lugu tanpa dosa yang nantinya itu adalah aku di lahirkan di atas sebuah tikar yang sudah tak utuh lagi wujudnya karena beberapa bagian sudutnya sudah dimakan kecoak rakus. Ibuku selalu mengenang tangisanku untuk yang pertama kalinya. Kata ibu, dia sangat bangga ternyata anak ke dua nya terlahir dengan hidung mancung, kulit putih agak kuning langsat seperti layaknya orang Indonesia dan yang paling membuat ibuku bangga adalah tatapanku saat itu sangat tajam setajam pengharapannya untuk merubah nasib di masa yang akan datang.

Tanggal dua puluh satu yang di nantikan dan bulan juli yang belum tentu maknanya serta 1987 tahun penuh perjuangan hidup bagi ayah dan ibuku. Tepat dimana aku pertama kali di lahirkan di muka bumi ini. Aku pun belum sempat menyadari setelah kemudian aku telah bernama Agung dwiyono. Kata ayahku “ (agung) itu bermakan (besar) dan terlahir dengan harapan yang besar pula lalu (Dwi) itu untuk menandakan anak ke dua serta (Yono) itu berarti (nyleneh) karena ayahku adalah tipe orang yang tidak biasa dan dia ingin anaknya juga tumbuh menjadi orang yang tidak biasa dan dapat membanggakannya.

Ayahku pada saat itu bekerja menjadi buruh pelabuhan di ibu kota. Sudah hampir satu tahun ayah bekerja di sana. Terkadang dua bulan sekali pulang kerumah sekedar menengok anaknya yang masih kecil-kecil dan memberi sedikit uang ke pada ibu untuk melanjutkan hidup kami di desa. Setelah ibu melahirkanku, ia kembali pada pekerjaannya. Mengais batu di pinggiran sungai besar di perbatasan desa. Batu-batu itu di kumpulkan sebelum nanti di hitung oleh pemborong yang datang dengan uang yang sangat banyak. Saat ibu bekerja dan kakakku pergi ke sekolah, aku di asuh oleh bibiku di rumah. Kata bibi aku sering nangis minta di susui ibu. Tapi ibu sering tidak ada di sisiku saat aku merengek minta air susu. Lalu aku di susui oleh bibiku waktu itu.

----------oooo-----------

Saat jeda ibuku bercerita siang itu di bawah pohon rambutan. Rambutku terasa gatal. Sejak tadi ku garuk sambil menikmati dan berimajinasi cerita ibu ku yang membuatku terkagum haru.

“Rambutmu ada kutunya gung?”. Tanya ibuku sesaat setelah aku berulang kali menggaruk rambutku.

“Aku juga gak tau bu’, dari tadi terasa gatal”. Jawabku sambil sesekali meringis.

“Sini ibu pe’tani (mencari kutu = bahasa jawa) “. Tegas ibuku sambil memintaku duduk membelakanginya. Dan Ibuku kembali bercerita ;

--------------ooooooo---------------
hidup kami sebelum fase ini sungguh labih malang dari yang terbayangkan olehku. puing-puing kesedihan masih terasa hingga saat aku mengingatnya. tahun paceklik, menahan kerinduan akan panen jagung dari lahan pinggiran sungai yang tak seberapa. uang saku kakakku waktu itu masih dua puluh rupiah untuk membeli es tung-tung yang biasa mangkal di depan sekolah dasarnya yang tak pernah terlihat rapi tataletaknya. sewaktu usiaku sudah beranjak empat tahun akupun memasuki sekolah dasar yang sama. 1992 tepatnya saat ayahku masih hidup merantau di ibu kota. dan di tahun itu pula sebuha rencana tak terduga tiba-tiba mencuat dari keheningan do'a-do'a kami.

bulan ke lima 1992 ayahku pulang membawa kabar berita. kami harus berpindah ke suatu tempat yang belum pernah terpikir oleh kami sebelumnya. tempat itu adalah pulau seberang sana. mereka menyebutnya sumatera. begitu riuh obrolan dari teling ke telinga setiap penjuru desa. keputusan ayahku sudah bulat dan tak mau perduli apa kata orang. bagi ayah itulah satu-satunya jalan merubah nasib. ayah ingin aku dan kakak ku mendapatkan sekolah yang layak. setidaknya bisa lebih dari strata ayah yang tak pernah lulus sekolah dasar.

Comments

nice story :)
mas alumni MAN yo?
Anonymous said…
jadi ini tulisanmu..

ada rasa, ingin membaca lagi dan lagi setelah berhenti di setiap endingnya..

GoodLuck.!
Agung Dwiyono said…
nita ; iyapz saya alumni MANSA...panjenengan??
kinjenk ; tolong kasih saya kritik di cerita saya. ya..
maaf baru bales komentar kalian.

Popular posts from this blog

JANGAN PAKSA AKU

sayang, jangan paksa aku.. menjadi pembohong karena jarang shalat aku bukan orang suci seperti nabi sayang, jangan paksa aku.. untuk beribadah karenamu aku kan menjadi orang yang sangat merugi sayang, beri aku ruang untuk hidup tanpa kebohongan untuk shalat tanpa takut kehilangan cintamu untuk mengimbangi akhlakmu dengan caraku sayang, aku tau kamu rajin mengaji dan aku rajin mabuk aku tau kamu rajin pergi ke masjid dan aku rajin pergi ke dugem tapi aku masih menyimpan pengharapan sayang, kamu jangan marah jika aku tidak punya alasan untuk tidak shalat aku hanya sedang malas bukankah naik turun itu wajar. sayang, jika kamu marah lagi putuskan saja cintaku menikahlah dengan anak pak kyai atau lelaki dewasa jebolan pesantren. aku memilih menjadi orang beriman tanpa cintamu saja.

angkringan pak royo

aku ingin, kau jangan

aku ingin sekali-sekali ingin tapi bukan ingin ini atau ingin itu aku hanya sedang ingin aku ingin tapi kau jangan jika ingin kita beradu menjadi hal yang tak ingin walaupun sungguh inginku menggebu aku ingin beberapa kata lahir premature dari mulutmu beberapa senyum merekah perlahan dibibirmu aku ingin melihatnya sendiri sendiri saja saat sore tiba karena aku ingin menjadi yang kau inginkan