Skip to main content

Sabun mandi batangan

“Seperti bunga yang layu terbuang..namun kau pasti tahu,,,semua karena aku masih lagi setia pada mu…biar ku menangis,,seumpama pengemis”…”goyang sitik josss!!!”.

Dentuman lagu bernuansa dangdut koplo itu terdengar kencang dari speaker aktif milik parjo di dalam ruangan berukuran tiga kali tiga yang pengap, kotor dan tertutup rapat tanpa celah. Hanya segumpalan asap rokok yang meliuk-liuk di dalamnya. Seteguk kopi hangat temani warnai pagi seolah tak terhiraukan pelik yang terjadi di luar sana.

Awan hitam menggelantung di atas kota jogja. Hujan debu berwarna abu-abu itu terus menghujam paru-paru para penghuni kota yang semakin hari semakin individualis, rakus dan kehilangan esensi kemanusiaannya. Rutinitas itu kini terhenti begitu saja pada sebuah fase kegetiran. Tak ada lagi tegukan beer di siang bolong, tak ada lagi tawuran pelajar selepas pukul satu siang, tak ada lagi private party di tengah lautan pesta para durjana.


Parjo masih asik dengan lagu dangdut koplo nya.sambil sesekali menggoyangkan pantat teposnya itu mengiringi tempo lagu berikutnya bertajuk “cinta satu malam”. Rangkaian beat itu kemudian ia rangkum pada sebuah niatan untuk mulai berbuat seperti kebanyakan orang-orang. Seperti kata kabar cuaca “tak ada kepedulian selama tak ada musibah” itulah selogan yang terlahir dari sebuah negeri berjudul antah berantah.

Tas berisi pakaian ganti, masker dan sikat gigi sudah tersusun rapi oleh tangan terampil parjo. Secangkir kopi itu pun sudah tinggal ampas saja. Kini parjo dengan niatan yang tulus siap untuk melangkahkan kakinya menuju posko-posko pengungsian yang membutuhkan bantuan tenaga relawan.


Sesampainya parjo pada sebuah tempat yang ramai dengan hingar bingar tapi terasa sunyi dalam hati. Tempat itu sebelumnya adalah gedung Sekolah Dasar yang kemudian di sulap menjadi posko pengungsian selepas letusan besar ke dua gunung merapi yang sepertinya sedang ingin exis. Tanpa basa basi parjo langsung lapor ke bagian sekretariat untuk menghibahkan jiwa dan raganya demi sebuah misi kemanusiaan.

“Mbak, saya pengen ikut Bantu-bantu di posko ini. Apa masih butuh bantuan?”. Sapa Parjo ramah.

“Mas dari mana ya? Dari universitas apa?”. Jawab penjaga skretariat dengan senyum ramah pula.

“Saya dari kost.hhheee. Emangnya kalo pengen jadi relawan harus kuliah dulu ya mbak?.kox Tanya universitas?”. Saut Parjo sedikit slengekan.

“Oh, enggak juga kox mas. Bisa dari mana saja”. Jawab penjaga itu mulai sinis.

“Hhheee. La terus yang paling butuh bantuan di bagian apa ya mbak??”.tanya Parjo lagi sambil guyon.

“Mas Bantu di bagian logistik saja ya. Kebetulan di bagian itu sedang minim orang dan minim kepercayaan”.mbak nya masih tampak serius.

“Asal gak minim-minim rok para relawan perempuan nya saja mbak.hhhaaa. bisa betah nanti saya disini..hhhaa”. cetus Parjo tak henti-hentinya mengumbar lelucon.

“Hhaaaaa.ok langsung saja mas ke gudang logistik. Banyak bahan pokok yang perlu di tata ulang sepertinya”. Mbaknya sudah mulai berbaur dengan guyonan Parjo. Kemudian menunjukkan arah gudang logistik.

“Siiiiiap 86 mbak !!!!”. Parjo berdiri sambil hormat bendera lalu pergi bergegas begitu saja ke gudang logistik.

Hari yang sungguh melelahkan bagi parjo, batuan berupa logistik datang bertubi-tubi dari pabrik ini dan dari perusahaan itu, dari ibu-ibu PKK ini dan dari pemuda-pemudi karang taruna itu. TERUS DARI PEMERINTAH MANA?. Sebuah pertanyaan yang sungguh tak perlu jawaban. Parjo pun terus bekerja tanpa mengenal lelah. Ia tak perlu berkenalan dengan relawan lain, karena kebersamaan mereka yang dengan sendirinya membuat mereka terlihat sangat akrab. Rasa senasib sepenanggungan, solidarisme dadakan yang tak pernah kita rasakan tanpa adanya musibah. Itulah musibah, “hikmahnya tiada akhir” bukan “deritanya tiada akhir”.

Petang pun menjelang seiring keringat yang terus mengalir di dahi parjo dan teman-teman relawan lain. Senyum merekah di bibir mereka untuk menghibur diri sendiri, menghibur para pengungsi juga sebagai pertanda bahwa sesulit apapun kegetiran hidup tak berarti apa-apa jika selalu kita hadapi dengan senyuman. Kemudian gudang logistik yang selalu penuh dengan permintaan oleh para pengungsi itu pun ditutup tepat pada pukul delapan malam. Saatnya untuk Parjo dan relawan-relawan logistik yang lain beristirahat. Parjo pun memutuskan untuk kembali ke gubuk usangnya yang terletak tak jauh dari posko pengungsian.

---------------00000000000------------------

Tanpa terasa sudah tiga hari Parjo berada di posko pengungsian itu. Hari ini adalah hari keempatnya dan semangat Parjo masih seperti saat pertama kali ia datang. Satu hal yang membuat semangat Parjo terus menyala adalah kebersamaan dan senyum indah para pengungsi.

Berita datang dari panitia pengungsian bahwa malam nanti akan ada pertunjukan dangdut untuk menghibur para pengungsi. Sudah barang tentu kabar itu di sambut hangat oleh para pengungsi dan relawan terutama Parjo. Bagaimana tidak, Parjo sangat tergila-gila dengan dangdut dan sudah barang tentu dia tak akan melewatkan momen spesial itu. Parjo seolah tak sabar ingin menyanyikan lagu “bunga” dan “cinta satu malam” bersama para biduwanita nanti malam.

Setelah berkutat dengan aktifitas gudang logistik yang melelahkan, akhirnya momen yang ditunggu-tunggu itu datang juga. Panggung yang sederhana lengkap dengan sound systemnya sudah menunggu di bawah remang-remangnya suasana pesta para nestapa. Suara ketipung pertama mulai mengayun syahdu setelah beberapa kata sambutan dari kepala dusun dan ketua posko pengungsian. Tanpa basa-basi para pengungsi dan relawan pun mulai terhanyut di lantai dansa. Lagu demi lagu terlalui seolah tak ingin terhenti. Tawa lepas, obrolan sederhana, gelaran tikar para ibu-ibu pengungsi menambah lengkap suasana pesta. Hingga tanpa terasa malam mulai larut satu per satu rentetan acara mulai surut dan berakhir begitu saja dengan senyuman dan kebahagiaan tak terlukiskan.

----------------------0000000000----------------------


Pagi yang indah, dengan semangat yang sama parjo sampai di posko pengungsian itu lagi. Tiba-tiba salah seorang teman relawan menyapanya.

“Jo, kamu dipanggil pak Buto (ketua posko) di sekretariat”. Kata temanya itu.

“Ok. Siiiiap 86 !!”. sahut parjo yang masih bertanya dalam hati (tumben pak Buto manggil dia).

Sesampainya di ruang sekretariat Parjo langsung menemui pak Buto.

“Ada apa pak To?”. Tanya parjo sembari duduk di kursi sekretariat.

“Akhirnya datang juga yang saya cari dari tadi, sini Jo kita ngobrol didalam saja”. Jawab pak Buto yang kemudian beranjak untuk mengajak Parjo ngobrol di tempat lain hanya empat mata.

“Ada apa pak kox sepertinya serius sekali?”. Parjo masih keheranan sambil mengikuti langkah pak Buto.

“Begini Jo, kita kan disini semua relawan. Kamu tahu relawan itu apa Jo?”. Pak Buto justru balik menannya.

“Iya saya tahu. Memang ada apa pak?”. Jawab parjo singkat masih bertanya-tanya.

“Relawan itu kan bekerja tanpa mengharapkan pamrih kan Jo?. Rela menolong untuk sesama yang membutuhkan?”. Pak Buto seolah tak menghiraukan jawaban Parjo malah justru mengajari.

“Iya, tapi maksud bapak apa?. Jangan mengajari saya tentang definisi pak !.langsung aja ke pokok permasalahan !”. Parjo mulai gerah.

“Ok.jangan terburu-buru. Begini, apa benar kamu membawa pulang barang logistik untuk pengungsi Jo?”. Tanya pak Buto blak-blakan.

“Contohnya pak?”. Parjo balik Tanya.

“Ya semisal sabun mandi?”.Pak Buto dan Parjo saling barsaut Tanya seolah tak perduli.

“Iya saya akui saya membawa pulang sabun mandi batangan dari gudang logistik pak. Dan Cuma satu butir itu yang saya bawa !. karena saya merasa perlu membersihkan badan saya dari keringat setelah bekerja seharian. Apakah itu tidak manusiawi pak?”. Jelas Parjo panjang lebar dengan intonasi tinggi seolah tak terima.

“Iya maksud saya, kalo mau pakai barang-barang logistik itu dipakai di tempat saja. Jangan di bawa pulang !”. Jawab pak Buto dengan sedikit hentakan seolah takingin kalah dengan anak muda seperti Parjo.

“Baiklah pak. Toh ini sabun mandi batangan yang kemaren saya bawa pulang juga sedang saya bawa lagi kesini sekarang. Semoga setelah saya kembalikan sabun ini, tidak ada lagi pergunjingan yang dilebih-lebihkan !”. Parjo menjawab dengan nada-nada tak bergairah sekaligus marah, juga mungkin bingung.

“yo jangan marah gitu Jo “. Pak Buto masih mencoba meredam kemarahan Parjo.

“Ini sabun mandi yang sempat saya pakai itu saya kembalikan pak !”. Parjo lalu pergi menuju gudang logistik dengan meninggalkan sabun mandi batangan itu di hadapan pak Buto. Dengan wajah kusam Parjo melewati hari ini dengan perasaan yang tidak karuan. Perasaan bersalah dan tidak nyama jika berita sabun itu sempat terdengar oleh banyak telinga kemudian yang tersisa hanya sebuah pertanyaan dalam hati kecilnya “Apakah tindakan membawa pulang sabun mandi batangan itu tidak manusiawi?”. Hari ini pun berakhir dengan tidak sempurna.

---------------------------0000000000000000000-------------------------

Keesokan harinya dengan kondisi pikiran yang positif Parjo kembali pada rutinitasnya di posko pengungsian. Dengan membuang jauh-jauh perasaan bersalahnya itu Parjo buka lembaran barunya di gudang logistik bersama relawan dan para pengungsi yang selalu ramah dan terjaga rasa percayanya.

Siang hari yang terik, Parjo dan beberapa relawan lain sedang bersantai di depan gudang logistik. Berteman sebatang rokok dan sebuah obrolan ringan. Terselip beberapa keluhan di dalam obrolan itu, diantaranya perihal menipisnya persediaan beras. Sedang asik-asiknya obrolan mereka tiba-tiba truk bantuan logistik datang lagi pertanda untuk Parjo dan teman-temanya beraksi memindahkan bantuan logistik itu ke gudang. Kemudian salah seorang pengantar bantuan itu membuka pembicaraan dengan Parjo dan teman-temannya.

“Persediaan logistik di posko ini masih terpenuhi kan mas?”. Tanya seorang pengantar kepada Parjo sembari memberi daftar bantuan yang harus di tanda tangani.

“Masih pak !. Bapak dari perusahaan mana ya?”. Jawab Parjo sambil menandatangani serah terima.

“Kami dari PT sumber banyu. Oya, posko ini membutuhkan apa lagi ?”. jawab pengantar itu kemudian kembali bertanya.

“Beras pak. Persediaan beras kita menipis. Tinggal tersisa dua karung saja !”. jawab Parjo sesuai fakta.

“Elloh, bukanya kemaren kami sudah mengantar kesini dua ton beras?. Kenapa cepat sekali habisnya?”. Tanya sang pengantar bantuan itu keheranan karena ia merasa dua hari yang lalu ia mengantar bantuan beras sebanyak dua ton.

“Kapan pak?. Dari kemaren kami tidak menerima bantuan beras sedikit pun !”. jawab Parjo juga ikut mengerutkan dahinya.

“Tapi kemaren bantuan beras itu sudah kami pasrahkan pada pak Buto selaku ketua posko !”. Jawab pengantar itu sambil menunjukan bukti serah terima.

“oooowww. Mungkin sedang diproses pak. Biar nanti kami tindak lanjuti”. Saut Parjo untuk menenangkan pengantar bantuan itu.


Kemudian obrolan itu menjadi tanda Tanya besar dan perbincangan serius di kalangan relawan yang ada di bagian logistik. Lalu Parjo dan teman-temannya memeriksa ke bagian sekretariat dan tidak ada laporan beras masuk dari PT sumber banyu. Parjo dan relawan lain mencoba berpikir positif dan memutuskan untuk menunggu kepastian beras itu selama beberapa hari kedepan. Secara kebetulan malam nanti akan ada rapat oleh pantia posko untuk membahas kekurangan beras.


Singkat cerita rapat pun dimulai dengan di buka oleh sambutan pak Buto yang pada intinya menyayangkan minimnya ketersediaan beras. Ia pun seolah berlagak seperti pahlawan dengan berkata akan mengusahakan untuk mencari donator dari teman-temannya yang duduk di kursi pemerintahan kota. Pak Buto pun membenarkan belum adanya donasi dari pihak swasta akan beras ini. Hal ini membuat mata Parjo dan teman-temanya di logistik mulai memandnag curiga. Rapat pun usia beriring tepuk tangan meriah dari panitia dan para relawan lain. Pak Buto pun bergegas untuk pulang kerumahnya Sedang Parjo dan teman-temanya sepakat untuk merencanakan sesuatu.

Pukul sebelas malam setelah rapat yang melelahkan. Ternyata sebagian besar panitia dan relawan yang ikut rapat tadi tidak langsung pulang, justru di ajak oleh Parjo ke rumah pak Buto beramai-ramai. Setelah mengetuk pintu rumah pak Buto dengan sopan, pintu itu pun di buka oleh isteri pak Buto.

“Selamat malam bu’. Pak Buto nya ada?”. Dengan sopan Parjo menyapa Bu Buto.

“Iya pak Buto ada. Ada perlu apa ya mas kox beramai-ramai?”. Tanya Bu Buto keheranan.

“Tolong di pangggil saja pak Buto bu’ “. Jawab Parjo singkat.

Tak lama kemudian pak Buto keluar dari kamar tidurnya dengan menggunakan pakaian tidurnya.

“Ada apa Jo?. Knapa beramai-ramai ke rumah saya?. Kenapa ada polisi juga?”. Tanya pak Buto heran dengan nada sedikit panik.

“Ada rapat dadakan pak !”. jawab Parjo singkat.

“Rapat apa lagi?.kan tadi juga sudah rapat Jo”. Jawab Pak Buto seolah-olah bersikap wajar.

“Soal beras pak !. itu beras di ruang tamu bapak kox banyak sekali dari mana pak?”. Parjo menunjuk tumpukan beras di ruang tamu pak Buto.

“Ooow itu, itu beras titipan toko samping kox Jo “. Pak Buto mulai gugup dengan jawaban gagu.

“Titipan dari toko samping atau dari PT sumber banyu pak?hhheee.”. celoteh Parjo sembari guyon.

“Maksud kamu apa Jo?. Kamu menuduh saya?”. Pak Buto menggertak dengan intonasi tinggi.

“Kami tidak menuduh pak. Kami juga sudah membawa pak Heru dari PT sumber banyu yang sekaligus membawa bukti penyerahan beras sebanyak dua ton untuk posko pengungsian. Tapi nyatanya beras itu ada disini !!!. dirumah bapak !!..sudah bapak tidak usah mangkir !!. pak polisi tolong bawa bangsat ini ke kantor polisi !!!. urus sesuai kewenangan anda !!”. jawab parjo menggebu-gebu sambil menuding-nuding wajah pak Buto.

“ Siiiiap mas Parjo !!!”. polisi langsung memborgol pak buto tanpa basa-basi.

“Loh,,,loh…loh mau di bawa kemana saya?”. Pak Buto seolah masih mangkir dan tidak percaya.

“Bapak mau di proses karena mencuri sabun mandi batangan dari posko pengungsian!!”. jawab Parjo ringan sekali.

Pak Buto pun di giring masuk ke dalam mobil polisi sembari menerima caci maki dari masyarakat yang melihat langsung kejadian itu. Tak pelak sesekali lemparan kerikil kecil telak mengenai wajah Pak Buto. Seharusnya tidak kerikil kecil tapi sekalian saja lempar kotoran ke muka manusia bejat seperti pak Buto itu. Di tengah kericuhan itu Parjo bisikan kata-kata di telinga pak Buto ;

“Anda tahu relawan itu apa pak Buto?”.

------SEKIAN-----

Comments

Popular posts from this blog

JANGAN PAKSA AKU

sayang, jangan paksa aku.. menjadi pembohong karena jarang shalat aku bukan orang suci seperti nabi sayang, jangan paksa aku.. untuk beribadah karenamu aku kan menjadi orang yang sangat merugi sayang, beri aku ruang untuk hidup tanpa kebohongan untuk shalat tanpa takut kehilangan cintamu untuk mengimbangi akhlakmu dengan caraku sayang, aku tau kamu rajin mengaji dan aku rajin mabuk aku tau kamu rajin pergi ke masjid dan aku rajin pergi ke dugem tapi aku masih menyimpan pengharapan sayang, kamu jangan marah jika aku tidak punya alasan untuk tidak shalat aku hanya sedang malas bukankah naik turun itu wajar. sayang, jika kamu marah lagi putuskan saja cintaku menikahlah dengan anak pak kyai atau lelaki dewasa jebolan pesantren. aku memilih menjadi orang beriman tanpa cintamu saja.

angkringan pak royo

aku ingin, kau jangan

aku ingin sekali-sekali ingin tapi bukan ingin ini atau ingin itu aku hanya sedang ingin aku ingin tapi kau jangan jika ingin kita beradu menjadi hal yang tak ingin walaupun sungguh inginku menggebu aku ingin beberapa kata lahir premature dari mulutmu beberapa senyum merekah perlahan dibibirmu aku ingin melihatnya sendiri sendiri saja saat sore tiba karena aku ingin menjadi yang kau inginkan