“waktu akan mengikismu, membungkukkan badanmu, memutihkan rambutmu, mengeringkan spermamu”.
Petuah Mbah Durjo pada cucunya Sambu dipenghujung senja. Mbah Darjo muda terkenal lihai merangkai kata. Konon Mbah Putri dulu terpikat hatinya setelah menerima sepucuk surat cinta yang ditulis Mbah Darjo dengan darahnya sendiri.
Reputasi Mbah Durjo itu membuat Sambu bangga memiliki kakek seperti Mbah Durjo. Iapun tak sungkan bertukar cerita cinta lelaki berambut putih itu. Dan kini Sambu sedang jatuh cinta kepada Bunga teman sekelasnya. Malam ini Sambu akan bertemu Bunga untuk mengerjakan tugas kelompok di rumahnya.
Awan sore itu berjalan terlalu cepat. Cahaya kekuningan itu kini mulai memudar, terbenam di balik pepohonan nan menjulang tinggi. Awan hitam kini mulai menguasai keheningan petang. Suara jangkrik sesekali terdengar dari sela-sela rerumput berukuran cepak. Dari kejauhan terdengar gesekan langkah kaki yang anggun. Pelan perlahan mulai nampak jelas mendekati rumah Sambu. Itu adalah suara kaki Bunga.
Sambu sudah menyambutnya di depan teras rumahnya. Segembol buku pelajaran tertata rapi di atas lantai berlebar satu meter memanjang. Di ujung lantai itu Mbah Durjo terlihat sedang bersantai di atas kursi goyang kesayangannya.
“Bunga, sudah siap?” Sapa Sambu pada Bunga.
“Aku sudah siapkan materi-materinya Mbu ! kita kerjakan di mana?” Jawab bunga berbalik tanya.
“Disini saja ya. Di teras terasa lebih nyaman” Jawab Sambu sambil menunjuk ke arah teras.
“Baiklah. Selamat malam Mbah Durjo !” mengiyakan Sambu sembari menyapa Mbah Durjo yang berada di ujung teras.
“Malam bunga !”. Jawab Mbah Durjo dengan menengok ke arah Bunga.
“Sebentar, Aku bikinkan teh hangat ya bunga ?”. Celoteh Sambu ramah.
“Terimakasih Mbu”. Sambil menata buku-buku pelajaranya.
Tinggalah Bunga dan Mbah Durjo di teras rumah itu. Bunga mulai membuka pembicaraan dengan Mbah Durjo yang sedang terlihat bersantai dengan pena dan selembar kertasnya.
“Mbah Durjo serius banget. Lagi nulis apa Mbah?” Tanya Bunga berbasa-basi.
“Sedang melukis Nak” Jawab Mbah Durjo singkat.
“Melukis kok pakai pena Mbah?” Tanya Bunga penasaran.
“Iya, melukis malam ini dengan kata-kata. Hahahaha” celoteh Mbah Durjo slengekan.
“Wah Mbah Durjo ini pintar merangkai kata ya. Buatkan sajak untuk Bunga donk Mbah” puji Bunga bernada centil.
“Nanti Aku ajari Nak” Jawab Mbah Durjo serius.
“Beneran lho Mbah. Pokoknya Bunga tagih janji Mbah Durjo suatu saat nanti.
Tak lama kemudian Sambu keluar dengan membawa tiga cangkir teh hangat sembari menaruh dua cangkir di atas lantai sedang satu cangkir lagi Ia bawa kepada Mbah Durjo.
“Mbah, ini tak buatin teh hangat. Sekalian buat nemenin pena Mbah itu” Basa-basi Sambu sambil menaruh secangkir teh di samping Mbah Durjo.
“Kamu memang cucu Mbah yang paling pengertian Mbu” Puji Mbah Durjo pada Sambu.
“Siapa dulu donk. Sambu...” Dengan nada sombong.
Lalu Sambu berjalan kearah Bunga yang sudah mulai membuka buku pelajarannya. Mereka berdua pun kemudian serius bergelut dengan tugas matematika yan sungguh memusingkan.
Menit demi menit berlalu di malam teras itu. Mata Sambu tak henti-hentinya memandangi paras cantik Bunga yang sedang serius menghitung soal dengan rumus integral. Sesekali Sambu kepergok oleh tatapan curiga Bunga karena Sambu nampak tidak fokus pada soal. Tiba-tiba dari arah rumah tedengar Ibu Sambu sedang berbicara sedikit lantang ;
“Mbu, ini lho ada makanan ringan, mbok ya di bawa keluar. Lumayan buat nemenin kalian menggarap tugas !” Suruh Ibu kepada Sambu.
“Ada ya Bu’? kok enggak bilang dari tadi !” Sambu bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil makanan. Bunga terlihat sedang menghela nafas sambil melihat-lihat keluar untuk mendinginkan otaknya yang sepaneng. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Mbah Durjo.
“Mbah, serius banget melukisnya” Sapa Bunga lagi.
“Melukis keindahan tak cukup dengan satu dua kata saja Bunga”. Jawab Mbah Durjo singkat.
“Masih melukis malam Mbah?” Tanya Bunga penasaran.
“Tidak, Mbah sedang melukis keindahan yang lain”. Jawab Mbah Durjo sesekali menatap Bunga.
“Wah, melukis apa lagi Mbah? Mesti bagus, Bunga boleh baca ?”. Puji Bunga sambil meminta.
“Nanti Mbah kasih tahu”. Jawab Mbah Durjo singkat.
“Beneran lho Mbah. Hmm jadi penasaran “ Bunga mulai kehilangan kesabaran.
Sambu keluar lagi dengan membawa beberapa toples berisi makanan ringan. Ia pun mempersilahkan Bunga mencicipinya. Lalu mereka berduapun kembali fokus pada tugas integral mereka.
Pukul sembilan malam, rasa kantuk dan lelah mulai meradang di atap-atap wajah Sambu dan Bunga. Tugas mereka kini telah selesai. Saatnya bunga untuk pamit pulang. Setelah berpamitan dengan Ibu, Bapak, Mbah Putri dan Mbah Durjo, Bunga pun pulang dengan rasa lelah yang tak tertahan.
------------0000000000000--------------
Sesampainya di rumah, Bunga menemukan selembar kertas yang terjatuh dari tumpukan buku pelajarannya. Dalam hati Ia betanya-tanya. Siapakah yang menyelipkan kertas itu di dalam buku-bukunya? Rasa penasaran itu mendorong Bunga untuk segera membuka isi selembar kertas itu.
petang berwarna jingga
nyanyian suara jangkrik bertautan
sekumpulan harapan
menanti bunga bermekaran di penghujung senja
suara langkahmu ku baca
dari suara hati yang tak ingin berdusta
dalam diam aku mengagumimu
menanti senyummu, memandangi indahmu...bunga
(jika kau berkenan membalas rangkaian kata-kata ini, letakkan lembaran suara hatimu itu di atas bunga pagar sebelah barat rumahmu)
Siapakah pemilik rangkaian kata ini?
Aku sudah menaruh hati
Sejak kata-kata “petang” yang ku kagumi
Sungguh aku ingin berjumpa
Seorang penulis surat cinta tanpa nama
Aku menunggu perangkai kata sepertimu
Dalam sendiri aku masih tetap menunggu
(esok malam ku sapa lagi sehelai kertasmu di atas bunga pagar itu)
Siapa?
Aku hanyalah ketidakpantasan
Ketika melihatmu yang sempurna
Ketika aku memutuskan untuk mencintaimu
Apakah kau masih menaruh harapan?
(lekas terbalaslah surat ini. Aku sudah tak kuasa menahan gejolak)
Aku terlanjur mencitaimu
Dari rangkaian puji-pujian itu
Dari paras yag tersimpan rapi di setiap mimpiku
Meski Kau tak berwujud manusia
(Perasaan ini tak karuan ingin berjumpa)
Begitu juga denganku
Ingin kuciumi lembut bibirmu
ku lumat habis isi tubuhmu
Aku mencintaimu dengan sebatas kata
Tanpa bermaksud melukai siapa-siapa
Bagaimana denganmu?
(With love and my lips just for You..Bunga)
Aku menyimpan gairah yang sama
Ku tunggu Kau di bawah pohon bambu
Dibelakang satu-satunya rumah tak terpakai di penghujungdesa ini
petang nanti
(My kiss just for you ... Lelaki rahasiaku)
Petang yang dinanti. Rindang pohon bambu menjadi saksi. Bunga terlihat sedang duduk sendiri dan menanti. Ia lepas sepasang sanda jepitnya untuk menopang bokong ranum yang belum matang miliknya. Tak lama terdengar suara seorang lelaki dari belakang tempat bunga sedang duduk menunggu.
“Petang selalu membawa gairah !” Suara seorang lelaki.
“Apakah itu kau? Lelaki rahasiaku?” Bunga bertanya dengan lirih.
“Iya, tapi Aku tak lagi berwujud manusia” Jawab lelaki itu.
“Hah..Apakah Kau benar-benar bukan manusia?” Bunga penasaran sekaligus merinding.
“Aku manusia. Tapi pasti bukan seperti yang kau harapkan” Jawab lelaki itu pesimis.
“Aku tak pernah perduli apapun wujudmu. Aku sudah berjanji untuk membakarmu dengan gairah !” tegas Bunga sambil mengelus dada.
“Tutup matamu” Pinta sang lelaki.
“Baiklah !” Bunga pun menuruti apa kata lelaki itu.
“Sekarang buka matamu, Aku berada tepat di hadapanmu” lelaki itu tak ingin Bunga terkejut.
Bunga mulai membuka matanya. Perlahan Ia buka. Ia ingin lelaki itu berwujud malaikat bersayap, berwarna putih, bermata cahaya. Oh, alangkah terkejutnya bunga. Bagaimana Ia tak kaget. Bunga tak menyangka ternyata lelaki itu adalah ;
“Mbah Durjo??!!??” teriak Bunga seolah masih tak percaya.
“Iya, ini Aku lelaki rahasiamu Bunga. Dan Aku yakin Kamu pasti kecewa” Jawab Mbah Durjo layu.
Bunga terdiam seribu bahasa. Perasaan dalam hatinya gemuruh seperti genderang takbiran. Ia masih kalut, hampa, tak percaya. Kini kenyataanya lelaki rahasia itu hanyalah sesosok lelaki berambut putih, berbadan bungkuk dan berkulit keriput.
“Ingat kembali rangkaian kata-kata itu Bunga. Aku melukismu sejak saat itu” Mbah Durjo mengajak Bunga flashback.
“Iya Mbah, Aku teringat. Aku sudah terlanjur jatuh” Jawab Bunga gemetaran.
“Lantas?” Tanya Mbah Durjo.
“Aku akan menepati janjiku Mbah” Bunga mulai pasrah dan bertindak bodoh.
Sepasang kekasih beda zaman itu kemudian bergumul diatas lautan durjana. Fatamorgana berwarna abu-abu, kusut penuh peluh dan ketidaklaziman.
“Mbah yakin masih bisa?” tanya Bunga ngledek.
“Aku masih mencoba Bunga” Tegas Mbah Durjo sambil melepas celananya.
“Mbah yakin?” ledek Buga lagi seolah meragukanMbah Durjo.
“Masih sulit berdiri sayang” Mbah Durjo mulai mengeluh.
“Ayo lah Mbah, keburu ada yang lihat lho ntar !” Bunga mulai cemas.
“baiklah, akan ku buktikan !” Mbah Durjo mulai tak sabar.
Berlagak seperti pahlawan yang membawa setetes air di gurun pasir yang gersang. Mbah Durjo mengeluarkan beberapa butir obat kuat yang sudah Ia persiapkan dari rumah. Kemudian Ia telan satu butir obat kuat itu dengan tergesa-gesa.
“Ini pasti akan membantu sayang” Mbah Durjo kembali genit kepada Bunga.
“Ah, Mbah nakal.hhhheeee” Bunga semakin centil.
Pergumulan mereka lanjutkan. Sudah selang beberapa menit sejak Mbah Durj minum obat itu, tapi tak kunjung ada reaksi juga. Bungapun mulai kehilangan kesabaran.
“Mbah kuat gak sich sebenarnya? Dari tadi gak berdiri-berdiri !” Bunga jengkel.
“Sebentar sayang. Sabar, aku tak ingin melewatkan momen spesial ini !” Mbah Durjo masih nampak berusaha. Ia kehilanga akal kini. Kemudian ia teguk dua puluh butir obat kuatnya sekaligus karena Ia tak ingin Buga kecewa.
Pergumulan mereka lanjutkan. Keringat Mbah Durjo mengalir sangat deras begitu juge denan Bunga yang semakin menikmati pergumulan mereka. Ditengah lautan dosa itu Buga berbisik lirih kepada Mbah Durjo kekasih durjananya ;
“Mbah, akhirnya Mbah. Sekarang Anu Mbbah sudah bisa berdiri !” Bunga terlihat bahagia.
“Sayang kau berhasil !” Tegas Bunga kembali setelah tak ada reaksi dari Mbah Durjo.
“Mbah, kenapa berhenti? Kamu udah berhasil sayang, ayo lanjutan !!!” pinta Bunga sedikit memohon. Tapi Mbah Durjo tetap diam. Gerakan tangan nakalnyapun ini terhenti. Keringat hangatnya kini tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin. Bunga menjadi panik. Ia hempaskan tubuh Mbah Durjo dari pelukannya. Tubuh lelaki tua itu pun tersungkur begitu saja. Kini Bunga tak tau harus berbuat apa lagi. Mbah Durjo pujaan hatinya kini sudah tak bernafas lagi. Mati dengan kemaluan menantang langit. Dan dalam hitungan detik kemaluannya itu tertunduk layu, Sunyi, syahdu dan biru. Pesan terakhir Bunga untuk Mbah Durjo dalam hati ;
“Mbah, tak akan pernah ada kemaluan abadi Mbah !. Selamat tinggal lelaki rahasiaku ! GOOD BYE MY CRAZY LOVE !”.
------selesai-----
Petuah Mbah Durjo pada cucunya Sambu dipenghujung senja. Mbah Darjo muda terkenal lihai merangkai kata. Konon Mbah Putri dulu terpikat hatinya setelah menerima sepucuk surat cinta yang ditulis Mbah Darjo dengan darahnya sendiri.
Reputasi Mbah Durjo itu membuat Sambu bangga memiliki kakek seperti Mbah Durjo. Iapun tak sungkan bertukar cerita cinta lelaki berambut putih itu. Dan kini Sambu sedang jatuh cinta kepada Bunga teman sekelasnya. Malam ini Sambu akan bertemu Bunga untuk mengerjakan tugas kelompok di rumahnya.
Awan sore itu berjalan terlalu cepat. Cahaya kekuningan itu kini mulai memudar, terbenam di balik pepohonan nan menjulang tinggi. Awan hitam kini mulai menguasai keheningan petang. Suara jangkrik sesekali terdengar dari sela-sela rerumput berukuran cepak. Dari kejauhan terdengar gesekan langkah kaki yang anggun. Pelan perlahan mulai nampak jelas mendekati rumah Sambu. Itu adalah suara kaki Bunga.
Sambu sudah menyambutnya di depan teras rumahnya. Segembol buku pelajaran tertata rapi di atas lantai berlebar satu meter memanjang. Di ujung lantai itu Mbah Durjo terlihat sedang bersantai di atas kursi goyang kesayangannya.
“Bunga, sudah siap?” Sapa Sambu pada Bunga.
“Aku sudah siapkan materi-materinya Mbu ! kita kerjakan di mana?” Jawab bunga berbalik tanya.
“Disini saja ya. Di teras terasa lebih nyaman” Jawab Sambu sambil menunjuk ke arah teras.
“Baiklah. Selamat malam Mbah Durjo !” mengiyakan Sambu sembari menyapa Mbah Durjo yang berada di ujung teras.
“Malam bunga !”. Jawab Mbah Durjo dengan menengok ke arah Bunga.
“Sebentar, Aku bikinkan teh hangat ya bunga ?”. Celoteh Sambu ramah.
“Terimakasih Mbu”. Sambil menata buku-buku pelajaranya.
Tinggalah Bunga dan Mbah Durjo di teras rumah itu. Bunga mulai membuka pembicaraan dengan Mbah Durjo yang sedang terlihat bersantai dengan pena dan selembar kertasnya.
“Mbah Durjo serius banget. Lagi nulis apa Mbah?” Tanya Bunga berbasa-basi.
“Sedang melukis Nak” Jawab Mbah Durjo singkat.
“Melukis kok pakai pena Mbah?” Tanya Bunga penasaran.
“Iya, melukis malam ini dengan kata-kata. Hahahaha” celoteh Mbah Durjo slengekan.
“Wah Mbah Durjo ini pintar merangkai kata ya. Buatkan sajak untuk Bunga donk Mbah” puji Bunga bernada centil.
“Nanti Aku ajari Nak” Jawab Mbah Durjo serius.
“Beneran lho Mbah. Pokoknya Bunga tagih janji Mbah Durjo suatu saat nanti.
Tak lama kemudian Sambu keluar dengan membawa tiga cangkir teh hangat sembari menaruh dua cangkir di atas lantai sedang satu cangkir lagi Ia bawa kepada Mbah Durjo.
“Mbah, ini tak buatin teh hangat. Sekalian buat nemenin pena Mbah itu” Basa-basi Sambu sambil menaruh secangkir teh di samping Mbah Durjo.
“Kamu memang cucu Mbah yang paling pengertian Mbu” Puji Mbah Durjo pada Sambu.
“Siapa dulu donk. Sambu...” Dengan nada sombong.
Lalu Sambu berjalan kearah Bunga yang sudah mulai membuka buku pelajarannya. Mereka berdua pun kemudian serius bergelut dengan tugas matematika yan sungguh memusingkan.
Menit demi menit berlalu di malam teras itu. Mata Sambu tak henti-hentinya memandangi paras cantik Bunga yang sedang serius menghitung soal dengan rumus integral. Sesekali Sambu kepergok oleh tatapan curiga Bunga karena Sambu nampak tidak fokus pada soal. Tiba-tiba dari arah rumah tedengar Ibu Sambu sedang berbicara sedikit lantang ;
“Mbu, ini lho ada makanan ringan, mbok ya di bawa keluar. Lumayan buat nemenin kalian menggarap tugas !” Suruh Ibu kepada Sambu.
“Ada ya Bu’? kok enggak bilang dari tadi !” Sambu bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil makanan. Bunga terlihat sedang menghela nafas sambil melihat-lihat keluar untuk mendinginkan otaknya yang sepaneng. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Mbah Durjo.
“Mbah, serius banget melukisnya” Sapa Bunga lagi.
“Melukis keindahan tak cukup dengan satu dua kata saja Bunga”. Jawab Mbah Durjo singkat.
“Masih melukis malam Mbah?” Tanya Bunga penasaran.
“Tidak, Mbah sedang melukis keindahan yang lain”. Jawab Mbah Durjo sesekali menatap Bunga.
“Wah, melukis apa lagi Mbah? Mesti bagus, Bunga boleh baca ?”. Puji Bunga sambil meminta.
“Nanti Mbah kasih tahu”. Jawab Mbah Durjo singkat.
“Beneran lho Mbah. Hmm jadi penasaran “ Bunga mulai kehilangan kesabaran.
Sambu keluar lagi dengan membawa beberapa toples berisi makanan ringan. Ia pun mempersilahkan Bunga mencicipinya. Lalu mereka berduapun kembali fokus pada tugas integral mereka.
Pukul sembilan malam, rasa kantuk dan lelah mulai meradang di atap-atap wajah Sambu dan Bunga. Tugas mereka kini telah selesai. Saatnya bunga untuk pamit pulang. Setelah berpamitan dengan Ibu, Bapak, Mbah Putri dan Mbah Durjo, Bunga pun pulang dengan rasa lelah yang tak tertahan.
------------0000000000000--------------
Sesampainya di rumah, Bunga menemukan selembar kertas yang terjatuh dari tumpukan buku pelajarannya. Dalam hati Ia betanya-tanya. Siapakah yang menyelipkan kertas itu di dalam buku-bukunya? Rasa penasaran itu mendorong Bunga untuk segera membuka isi selembar kertas itu.
petang berwarna jingga
nyanyian suara jangkrik bertautan
sekumpulan harapan
menanti bunga bermekaran di penghujung senja
suara langkahmu ku baca
dari suara hati yang tak ingin berdusta
dalam diam aku mengagumimu
menanti senyummu, memandangi indahmu...bunga
(jika kau berkenan membalas rangkaian kata-kata ini, letakkan lembaran suara hatimu itu di atas bunga pagar sebelah barat rumahmu)
Siapakah pemilik rangkaian kata ini?
Aku sudah menaruh hati
Sejak kata-kata “petang” yang ku kagumi
Sungguh aku ingin berjumpa
Seorang penulis surat cinta tanpa nama
Aku menunggu perangkai kata sepertimu
Dalam sendiri aku masih tetap menunggu
(esok malam ku sapa lagi sehelai kertasmu di atas bunga pagar itu)
Siapa?
Aku hanyalah ketidakpantasan
Ketika melihatmu yang sempurna
Ketika aku memutuskan untuk mencintaimu
Apakah kau masih menaruh harapan?
(lekas terbalaslah surat ini. Aku sudah tak kuasa menahan gejolak)
Aku terlanjur mencitaimu
Dari rangkaian puji-pujian itu
Dari paras yag tersimpan rapi di setiap mimpiku
Meski Kau tak berwujud manusia
(Perasaan ini tak karuan ingin berjumpa)
Begitu juga denganku
Ingin kuciumi lembut bibirmu
ku lumat habis isi tubuhmu
Aku mencintaimu dengan sebatas kata
Tanpa bermaksud melukai siapa-siapa
Bagaimana denganmu?
(With love and my lips just for You..Bunga)
Aku menyimpan gairah yang sama
Ku tunggu Kau di bawah pohon bambu
Dibelakang satu-satunya rumah tak terpakai di penghujungdesa ini
petang nanti
(My kiss just for you ... Lelaki rahasiaku)
Petang yang dinanti. Rindang pohon bambu menjadi saksi. Bunga terlihat sedang duduk sendiri dan menanti. Ia lepas sepasang sanda jepitnya untuk menopang bokong ranum yang belum matang miliknya. Tak lama terdengar suara seorang lelaki dari belakang tempat bunga sedang duduk menunggu.
“Petang selalu membawa gairah !” Suara seorang lelaki.
“Apakah itu kau? Lelaki rahasiaku?” Bunga bertanya dengan lirih.
“Iya, tapi Aku tak lagi berwujud manusia” Jawab lelaki itu.
“Hah..Apakah Kau benar-benar bukan manusia?” Bunga penasaran sekaligus merinding.
“Aku manusia. Tapi pasti bukan seperti yang kau harapkan” Jawab lelaki itu pesimis.
“Aku tak pernah perduli apapun wujudmu. Aku sudah berjanji untuk membakarmu dengan gairah !” tegas Bunga sambil mengelus dada.
“Tutup matamu” Pinta sang lelaki.
“Baiklah !” Bunga pun menuruti apa kata lelaki itu.
“Sekarang buka matamu, Aku berada tepat di hadapanmu” lelaki itu tak ingin Bunga terkejut.
Bunga mulai membuka matanya. Perlahan Ia buka. Ia ingin lelaki itu berwujud malaikat bersayap, berwarna putih, bermata cahaya. Oh, alangkah terkejutnya bunga. Bagaimana Ia tak kaget. Bunga tak menyangka ternyata lelaki itu adalah ;
“Mbah Durjo??!!??” teriak Bunga seolah masih tak percaya.
“Iya, ini Aku lelaki rahasiamu Bunga. Dan Aku yakin Kamu pasti kecewa” Jawab Mbah Durjo layu.
Bunga terdiam seribu bahasa. Perasaan dalam hatinya gemuruh seperti genderang takbiran. Ia masih kalut, hampa, tak percaya. Kini kenyataanya lelaki rahasia itu hanyalah sesosok lelaki berambut putih, berbadan bungkuk dan berkulit keriput.
“Ingat kembali rangkaian kata-kata itu Bunga. Aku melukismu sejak saat itu” Mbah Durjo mengajak Bunga flashback.
“Iya Mbah, Aku teringat. Aku sudah terlanjur jatuh” Jawab Bunga gemetaran.
“Lantas?” Tanya Mbah Durjo.
“Aku akan menepati janjiku Mbah” Bunga mulai pasrah dan bertindak bodoh.
Sepasang kekasih beda zaman itu kemudian bergumul diatas lautan durjana. Fatamorgana berwarna abu-abu, kusut penuh peluh dan ketidaklaziman.
“Mbah yakin masih bisa?” tanya Bunga ngledek.
“Aku masih mencoba Bunga” Tegas Mbah Durjo sambil melepas celananya.
“Mbah yakin?” ledek Buga lagi seolah meragukanMbah Durjo.
“Masih sulit berdiri sayang” Mbah Durjo mulai mengeluh.
“Ayo lah Mbah, keburu ada yang lihat lho ntar !” Bunga mulai cemas.
“baiklah, akan ku buktikan !” Mbah Durjo mulai tak sabar.
Berlagak seperti pahlawan yang membawa setetes air di gurun pasir yang gersang. Mbah Durjo mengeluarkan beberapa butir obat kuat yang sudah Ia persiapkan dari rumah. Kemudian Ia telan satu butir obat kuat itu dengan tergesa-gesa.
“Ini pasti akan membantu sayang” Mbah Durjo kembali genit kepada Bunga.
“Ah, Mbah nakal.hhhheeee” Bunga semakin centil.
Pergumulan mereka lanjutkan. Sudah selang beberapa menit sejak Mbah Durj minum obat itu, tapi tak kunjung ada reaksi juga. Bungapun mulai kehilangan kesabaran.
“Mbah kuat gak sich sebenarnya? Dari tadi gak berdiri-berdiri !” Bunga jengkel.
“Sebentar sayang. Sabar, aku tak ingin melewatkan momen spesial ini !” Mbah Durjo masih nampak berusaha. Ia kehilanga akal kini. Kemudian ia teguk dua puluh butir obat kuatnya sekaligus karena Ia tak ingin Buga kecewa.
Pergumulan mereka lanjutkan. Keringat Mbah Durjo mengalir sangat deras begitu juge denan Bunga yang semakin menikmati pergumulan mereka. Ditengah lautan dosa itu Buga berbisik lirih kepada Mbah Durjo kekasih durjananya ;
“Mbah, akhirnya Mbah. Sekarang Anu Mbbah sudah bisa berdiri !” Bunga terlihat bahagia.
“Sayang kau berhasil !” Tegas Bunga kembali setelah tak ada reaksi dari Mbah Durjo.
“Mbah, kenapa berhenti? Kamu udah berhasil sayang, ayo lanjutan !!!” pinta Bunga sedikit memohon. Tapi Mbah Durjo tetap diam. Gerakan tangan nakalnyapun ini terhenti. Keringat hangatnya kini tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin. Bunga menjadi panik. Ia hempaskan tubuh Mbah Durjo dari pelukannya. Tubuh lelaki tua itu pun tersungkur begitu saja. Kini Bunga tak tau harus berbuat apa lagi. Mbah Durjo pujaan hatinya kini sudah tak bernafas lagi. Mati dengan kemaluan menantang langit. Dan dalam hitungan detik kemaluannya itu tertunduk layu, Sunyi, syahdu dan biru. Pesan terakhir Bunga untuk Mbah Durjo dalam hati ;
“Mbah, tak akan pernah ada kemaluan abadi Mbah !. Selamat tinggal lelaki rahasiaku ! GOOD BYE MY CRAZY LOVE !”.
------selesai-----
Comments